Rabu, 18 Januari 2012

peranan pemerintah dalam meningkatkan peningkatab ekonomi desa

BAB I
PENDAHULUAN

1.    PENDAHULUAN

    Peningkatan kerusakan dan pencemaran lingkungan di kawasan pesisir dan laut Bali terjadi akibat adanya kebijakan pengembangan kawasan pariwisata yang sebagian besar berada di wilayah pesisir dan laut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah Provinsi Bali telah mengadopsi konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu/integrated coastal management (ICM) atas fasilitasi lembaga GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA). Melalui program tersebut telah dapat diidentifikasi berbagai konflik kepentingan di kawasan pesisir dan laut Bali serta beberapa dokumen perencanaan yang berimplikasi terhadap pengembangan kawasan pesisir dan laut Bali secara terpadu.

    Program Pemantauan Lingkungan Pesisir dan Laut Terpadu di Bali sebagai bagian dari implementasi program ICM dapat dilaksanakan berdasarkan sinergi tiga pilar pembangunan yakni pemerintah, industri/swasta dan masyarakat. Hasil dari kegiatan ini menunjukan bahwa pencemaran lingkungan hidup di wilayah pesisir dan laut yang berasal dari sumber di daratan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, serta beberapa pantai perlu ditingkatkan kualitasnya. Hampir semua lokasi pemantauan dicemari oleh lapisan minyak, benda terapung, senyawa nitrogen dan fosfat. Sebagian besar air laut di lokasi pemantauan tercemar bakteri coliform. Dari keseluruhan pantai yang dipantau, pantai Nusa Dua adalah yang terbaik terkait kualitas air laut, serta fasilitas informasi dan manajemen lingkungannya termasuk ketersediaan fasilitas pengolahan sampah dan air limbah, sementara itu Kawasan Teluk Benoa merupakan kawasan yang paling tercemar. Hal yang positif dari kegiatan ini adalah keterlibatan aktif dari instansi pemerintah mulai dari perencanaan hingga implementasi program.     Hambatan pelaksanaan umumnya berasal dari keterbatasan sumber daya seperti personal dan peralatan, dan yang paling besar adalah belum optimalnya budaya kerjasama antar instansi pemerintah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota dalam mengalokasikan perencanaan dan penggunaan anggaran untuk kegiatan pemantauan lingkungan hidup secara terpadu. Hal lainnya yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran akan pentingnya keterlibatan dan jalinan kerjasama antar instansi teknis,balai penelitian/laboratorium dalam upaya keberlanjutan program pemantauan lingkungan hidup.Sinergi antara tiga pilar pembangunan yakni pemerintah, swasta/industry dan masyarakat sangat penting dalam mewujudkan program pemantauan lingkungan terpadu yang berkelanjutan.

2.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pembangunan di suatu kawasan dengan segala aktivitasnya akan menyebabkan perkembangan wilayah yang menimbulkan berbagai implikasi. Selain menyebabkan pertumbuhan perekonomian yang mengakibatkan terciptanya lapangan kerja baru, perkembangan wilayah dapat menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Pemekaran dan pengembangan kawasan cenderung terus membengkak dan menimbulkan fenomena pembangunan fisik struktur menuju arah maksimal, sedangkan pengembangan ruang terbuka hijau menuju arah minimal sehingga menimbulkan kecenderungan perubahan wajah lingkungan alam. Perubahan bentang alam yang terjadi akibat pembangunan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan dalam waktu yang lama sehingga program pemantauan lingkungan terpadu memiliki peran yang strategis dalam upaya pengelolaan dan manajemen kawasan.
Degradasi lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir dan laut Bali merupakan implikasi dari berkembangnya kawasan tersebut yang menjadi pusat pertumbuhan perekonomian Bali.Berawal dari ketentuan tentang kawasan pariwisata yang tercantum dalam peraturan mengenai tata ruang wilayah, maka pembangunan kawasan pesisir menjadi sangat masif karena sebagian besar kawasan pariwisata Bali berada di wilayah pesisir. Berbagai aktivitas yang mendukung perkembangan kawasan menuntut agar dibangun fasilitas sarana dan prasarana yang memadai, seperti sarana pelabuhan laut dan bandar udara internasional, sumber daya energi, penyediaan air bersih, fasilitas perbankan dan perekonomian, serta sarana akomodasi dan penunjang aktivitas bisnis, yang mampu memenuhi tuntutan perkembangan wilayah.Implikasi yang dirasakan saat ini, kawasan pesisir menjadi pusat pertumbuhan kawasan sekaligus mendapat tekanan paling besar berupa degradasi lingkungan hidup.
Berbagai tantangan yang dihadapi kawasan pesisir dan laut Bali memerlukan strategi pengelolaan yang tepat dan terpadu. Identifikasi terhadap permasalahan yang dihadapi kawasan pesisir Bali dilakukan untuk menyusun suatu strategi pengelolaan yang terarah dan tepat sasaran. Dalam tulisan ini, akan ditampilkan strategi pengelolaan wilayah pesisir dan laut Bali yang berdasarkan pada upaya pemnatauan lingkungan pesisir dan laut terpadu.
3.    RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini ialah:
1.    Mengapa  sinergi tiga pilar pembangunan menjadi faktor penting dalam peningkatan ekonomi desa?
2.    Apa dampak program icm di bali terhadap peningkatan ekonomi desa?
3.    Sejauh mana program pemantauan lingkungan pesisir dan laut terpadu dalam meningkatkan ekonomi desa?

4.    TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah yang ada tujuannya penulisan karya ilmiah ini, yaitu:
1.    Untuk mengetahui alasan sinergi tiga pilar merupakan faktor penting dalam peningkatan ekonomi desa.
2.    Untuk mengetahui dampak program ICM di Bali terhadap peningkatan ekonomi desa.




BAB II
PEMBAHASAN

2.    SINERGI TIGA PILAR PEMBANGUNAN

    Terdapat tiga pilar utama yang berperan dalam pembangunan wilayah, yakni pemerintah, sektor industri/bisnis, dan masyarakat (Rogers, 2004:2). Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang. Sebagai regulator dan eksekutor pembangunan, peran pemerintah menjadi pilar utama dalam pembangunan kawasan pesisir dan laut Bali.
     Sementara itu, sektor industri sebagai kelompok bisnis yang melaksanakan kegiatan di bidang produksi dan jasa merupakan pilar pembangunan yang sangat strategis dalam perkembangan kawasan sebagai pusat pertumbuhan perekonomian Bali. Berbagai jenis industri dan bisnis yang ada di suatu kawasan menjadi penggerak ekonomi kawasan yang menimbulkan beragam dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif. Selain itu, peran masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan merupakan pilar ketiga yang sangat penting. Peran tiga pilar pembangunan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat lahir dan batin sehingga perlu diupayakan agar berjalan dengan baik dan terarah
.
2.1. Peran Pemerintah

    Peran pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan konsekuensi dari tugas negara untuk menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam menjalankan perannya, pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dan masyarakat dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Hal itu dapat dilakukan dengan mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.     Beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya pengendalian pencemaran dan perusakan kawasan pesisir dan laut meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri hingga peraturan daerah, dan keputusan gubernur/bupati/walikota telah banyak disiapkan bersamaan dengan perangkat pendukungnya. 
    Kebijakan pemerintah Provinsi Bali dalam melaksanakan peran pengendalian pencemaran lingkungan hidup di kawasan pesisir dan laut Bali dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah untuk mengatur pemanfaatan ruang dan lahan, dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 4 Tahun 2005 tentang     Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup untuk mengendalikan dampak negatif pemanfaatan ruang dan lahan. Kemudian, kedua perda provinsi tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah kabupaten/kota dengan menetapkan peraturan terkait pengaturan detail tata ruang dan prosedur perizinan untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pembangunan di level kabupaten/kota. Walaupun berbagai kebijakan yang berupaya mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sudah tersedia, fenomena peningkatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup makin bertambah parah. Hal ini diakibatkan karena tidak ada koordinasi yang sinergis antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga kerusakan yang terjadi terus bertambah.
    Peran pemerintah yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah dalam menggali potensi sumber daya alam untuk sebanyak-banyaknya dilakukan demi kemakmuran masyarakat. Peran tersebut tersurat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Implementasi dari ketentuan pengaturan kawasan pesisir dan laut Bali telah di lakukan dengan aturan pola pemanfaatan ruang (zoning regulation) dalam rangka menjabarkan rencana detail tata ruang (RDTR). Selanjutnya rencana operasional pemanfaatan ruang dapat dijadikan acuan dalam setiap kegiatan pembangunan di kawasan tersebut. Pedoman tersebut dapat digunakan untuk mengoordinasikan, mengintegrasikan, dan melaksanakan program pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah, industri/swasta, dan masyarakat secara operasional. Dengan kebijakan zonasi yang jelas, mekanisme pemanfaatan ruang yang terkait pemberian perizinan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang memiliki kepastian bagi masyarakat, pemerintah, dan sektor industri/swasta .
    Peran pemerintah dalam menunjang aspek pengendalian pencemaran lingkungan hidup di kawasan pesisir dan laut dapat lebih terarah dengan adanya kebijakan zonasi kawasan karena pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih terukur seperti dalam prosedur perizinan dan pengawasan serta penindakan hukum. Apabila dalam penerapan kebijakan peraturan perundangan, aspek penegakan hukum yang dilaksanakan secara konsisten, degradasi lingkungan hidup akan dapat dikurangi sampai batas yang dapat diterima oleh daya dukung lingkungan. Misalnya, dalam penetapan zonasi Taman Hutan Raya di kawasan Teluk Benoa, kalau saja setiap perencanaan pembangunan di kawasan tersebut mematuhi prosedur zonasi kawasan yang berkaitan dengan hutan bakau, peningkatan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk Benoa akan dapat dihindarkan.
    Peran pemerintah dalam mengatur pemanfaatan zonasi kawasan sangat menentukan perkembangan kawasan tersebut. Kepatuhan terhadap kebijakan tata ruang wilayah dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam dapat dijadikan ukuran terhadap komitmen pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Peta zonasi pemanfaatan kawasan dapat memudahkan peran pemerintah dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan. Pemanfaatan kawasan sesuai dengan kesepakatan zonasi tersebut akan memberikan implikasi positif terhadap aspek pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Hal ini disebabkan penetapan zonasi tersebut telah disepakati oleh para pihak terkait dalam upaya mengidentifikasi penggunaan-penggunaan yang diperbolehkan atas kepemilikan lahan dan peraturan-peraturan yang berlaku atasnya. Dalam melaksanakan perannya, pemerintah memiliki kewenangan dalam pengaturan kebijakan pemanfaatan potensi sumber daya yang tersedia yang pada umumnya dikelola oleh kelompok industri atau bisnis. Pendapatan hasil pemanfaatan potensi sumber daya digunakan kembali untuk sebanyak-banyaknya dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir/nelayan yang pada umumnya berada dalam kondisi yang marginal.

2.2. Peran Industri

    Selain pariwisata dan pertanian, pengembangan industri, khususnya industri kecil, merupakan salah satu sektor prioritas dalam pembangunan Bali. Pertumbuhan pembangunan industri kecil di Bali dalam tiga tahun Repelita IV terus mengalami peningkatan, bila dilihat dari perkembangan jumlah sentra industri, unit usaha, tenaga kerja, dan investasi yang ditanamkan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai ekspor produk aneka industri dan industri kecil pada tahun 1988 hanya US$129,0 juta, bertambah menjadi US$299,185 juta pada tahun 1994. Pertumbuhan industri kecil di Bali mengalami peningkatan dari tahun 1988 sebesar 14,05 %, menjadi 90,2 % pada tahun 1992. Jumlah sentra industri kecil pada tahun 1995 mencapai 1279 buah dengan peningkatan rata-rata 7,92 % setahun, sedangkan jumlah unit usaha mencapai 93.035 buah dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 297.352 orang. Nilai investasi sebesar Rp 321,182 milyar lebih melebihi target yang ditetapkan dan nilai produksinya yang mencapai Rp 832,833 milyar. Peran sektor industri dalam menunjang nilai total ekspor Bali cukup besar, yaitu 79,06 % dengan nilai US$249,507 juta pada tahun 1995 dan meningkat menjadi US$332,291 juta pada tahun 1996.
    Peran sektor industri terhadap peningkatan pencemaran lingkungan hidup di kawasan pesisir dan laut merupakan akibat dari pesatnya pertumbuhan sentra industri termasuk aktivitas perdagangan di kawasan tersebut. Sebagai pusat pertumbuhan perekonomian Bali, sektor industri yang berkembang di kawasan pesisir dan laut Bali didominasi oleh industri berbasis pariwisata, perikanan dan kelautan serta industri jasa. Aktivitas industri di kawasan ini memberikan sumbangan yang besar kepada pertumbuhan kawasan seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi kawasan. Tenaga kerja yang diserap sektor pertambangan, manufaktur, utilitas dan konstruksi sebanyak 19.984 orang pada tahun 1971 meningkat menjadi 127.570 orang pada tahun 2006, sedangkan di sektor perdagangan, hotel dan restoran serta komunikasi dan jasa-jasa lainnya meningkat dari 152.132 orang pada tahun 1971 menjadi 818.114 orang pada tahun 2006. Sekitar 80 % lapangan kerja tersebut berada di pusat pertumbuhan perekonomian Bali di sekitar kawasan Teluk Benoa.
    Pesatnya perkembangan kawasan pesisir di Bali Selatan sebagai akibat sebagian besar lokasi yang memiliki persyaratan yang diminta oleh para pemodal terletak di kawasan tersebut. Perkembangan kawasan Sanur, Kuta, dan sekitarnya dengan hamparan pasir putih dan kehidupan masyarakatnya yang sudah terbiasa dengan aktivitas turis, atau Nusa Dua sebuah kawasan baru yang direncanakan dengan matang sebagai lokasi resor mewah. Pembangunan fasilitas pariwisata pada periode pemerintahan Gubernur Ida Bagus Mantra (1978-1988) dan Ida Bagus Oka (1988-1998) tercatat dalam sejarah perkembangan industri pariwisata Bali sebagai waktu masuknya berbagai mega proyek di Bali. Diawali dengan pembangunan resor Nusa Dua yang mulai beroperasi tahun 1983, kemudian diikuti dengan pembangunan hotel berbintang di Jimbaran , Kuta dan Sanur dan kawasan wisata lainnya.Hingga kini, sebagian besar sarana dan prasarana kepariwisataan Bali berada di kawasan Bali Selatan. Peran industri pariwisata yang demikian dominan di kawasan ini telah dirasakan menimbulkan dampak pada peningkatan degradasi lingkungan hidup, terutama lingkungan pesisir dan laut.

2.3. Peran Masyarakat 

    Peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut di Bali termasuk dalam kategori peran sentral. Hal ini sebagai akibat adanya budaya masyarakat Bali yang memanfaatkan kawasan pesisir dan laut dalam setiap aktivitasnya, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas ritual. Pada umumnya, tempat suci/pemujaan masyarakat Bali terletak di kawasan pesisir Bali. Dalam pengertian penjagaan alam Bali, semua pura yang termasuk Dang Kahyangan, berada pada semua arah angin sehingga ibarat menjaga Bali dari segala penjuru. Oleh karena itu, setiap kegiatan pembangunan di kawasan pesisir Bali akan langsung berinteraksi dengan kepentingan masyarakat.
    Terdapat beberapa kasus yang memeprlihatkan peran masyarakat sangat strategis dalam kegiatan pengembangan dan pembangunan kawasan pesisir Bali. Munculnya sikap apatisme masyarakat terhadap beberapa program di kawasan pesisir lebih banyak akibat minimnya kegiatan sosialisasi yang terkait dengan rencana pembangunan tersebut. Hal ini memerlukan metode yang tepat dalam upaya membangkitkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan di kawasan pesisir tersebut.
Pada umumnya, sikap penolakan masyarakat terhadap program pemerintah bermuara pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap komitmen aparatur pemerintah dalam menjalankan mekanisme kebijakan pemanfaatan sumber daya alam demi kepentingan kesejahteraan masyarakat.
     Sikap penolakan masyarakat memiliki peran yang besar terhadap terhambatnya pelaksanaan program pembangunan. Untuk memperbaiki keadaan, perlu dilaksanakan kegiatan sosialisasi, penelitian, dan analisis akademis yang mendalam terhadap potensi keterlibatan masyarakat dalam program pengelolaan lingkungan hidup melalui mekanisme pembangunan yang berkelanjutan, sehingga keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan lintas sektor dapat mencerminkan aspirasi masyarakat yang sebenarnya. Dalam upaya meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, pemerintah perlu melakukan upaya pelestarian dan peningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau representasi apabila ingin menunjukkan kekuasaannya. Hal ini disebut strategi investasi simbolis. Strategi ini dapat meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu.




3.    PROGRAM ICM DI BALI
    Dalam upaya meningkatkan peran para pihak dalam mengatasi permasalahan lingkungan guna tercapainya sasaran pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan, sejak tahun 2000 Pemerintah Propinsi Bali bekerja sama dengan GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) dalam Program Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses dinamis di dalam mana suatu strategi terkoordinasi dikembangkan dan diimplementasikan dalam rangka alokasi lingkungan, sosial budaya dan sumberdaya kelembagaan untuk mencapai sasaran konservasi dan pemanfaatan wilayah pesisir multi-guna yang berkelanjutan. Proyek Demonstrasi Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu di Bali dimaksudkan untuk membantu dan membangun kapasitas daerah, baik pemerintah maupun pihak berkepentingan lainnya (stakeholders), dalam melindungi dan mengelola lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir Bali. Dalam tataran implementasi, program ICM ini merupakan bentuk sinergi antara pemerintah, industri/bisnis, dan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management/ ICM) adalah pendekatan pengelolaan wilayah yang memiliki mekanisme keterpaduan program diawali dengan melakukan:
a.    Persiapan
b.    Inisiasi
c.    Pengembangan
d.    Adopsi
e.    Implementasi
f.    Penyempurnaan dan konsolidasi



4.    PROGRAM PEMANTAUAN LINGKUNGAN PESISIR DAN LAUT TERPADU
    Salah satu program impllementasi yang menjadi bagian dari kegiatan berbasis ICM di Bali adalah pelaksanaan program pemantauan lingkungan terpadu. Program Pemantauan Lingkungan Pesisir dan Laut Terpadu di Bali dilakukan untuk memantau kualitas air laut dan kondisi pantai yang dikaitkan dengan dengan tujuan program pengelolaan wilayah pesisir dan terpadu. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan sampel secara random di beberapa lokasi yang terpilih untuk memahami distribusi dan variasi polutan kimiawi di lingkungan serta mengevaluasi fasilitas pengelolaan limbah padat dan cair serta sistem manajemen lingkungan lainnya. Diperlukan juga informasi yang terpadu dari beberapa instansi pemerintah dan lembaga teknis terkait serta analisis hasil pemantauan secara berkala untuk mengefektifkan program pengendalian dan pengawasan pembangunan.
    Tujuan dari kegiatan pemantauan lingkungan ini adalah mengetahui kualitas lingkungan pada beberapa pantai terpilih. Kegiatan dimulai tahun 2005 dan terus dilakukan hingga sekarang mengambil lokasi pemnatauan di Pantai Sanur, Serangan, Pelabuhan Benoa, Tanjung Benoa, dan Nusa Dua, dan pantai yang termasuk kawasan pariwisata di Bali. Jumlah keseluruhan lokasi samping adalah 20 buah. Parameter yang dipantau meliputi total dan fecal coliform, fecal streptococcus, lapisan minyak, benda terapung, kekeruhan, salinitas, total padatan terlarut, total padatan tersuspensi,pH,oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biologi, kebutuhan oksigen kimiawi, nitrit dan nitrat, amonia,dan fosfat. Parameter lainnya meliputi ketersediaan program pendidikan, manajemen dan informasi lingkungan termasuk fasilitas pengolahan limbah padat, air limbah, serta pelayanan publik dan keamananan.
    Hasil dari kegiatan ini menunjukan bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan hidup di wilayah pesisir dan laut yang berasal dari sumber di daratan, serta beberapa pantai perlu ditingkatkan kualitasnya. Hampir semua lokasi pemantauan dicemari oleh lapisan minyak, benda terapung, senyawa nitrogen dan fosfat. Sebagian besar air laut di lokasi pemantauan tercemar bakteri coliform. Dari keseluruhan pantai yang dipantau selama kurun waktu tahun 2005 s.d. 2009 pantai Nusa Dua adalah yang terbaik terkait kualitas air laut, serta fasilitas informasi dan manajemen lingkungannya termasuk ketersediaan fasilitas pengolahan sampah dan air limbah, sementara itu Pelabuhan Benoa merupakan kawasan yang paling tercemar. Hal yang positif dari kegiatan ini adalah keterlibatan aktif dari instansi pemerintah mulai dari perencanaan hingga implementasi program. Hambatan pelaksanaan umumnya berasal dari keterbatasan sumber daya seperti personal dan peralatan, dan yang paling besar adalah belum optimalnya budaya kerjasama antar instansi pemerintah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota dalam mengalokasikan perencanaan dan penggunaan anggaran untuk kegiatan pemantauan lingkungan hidup secara terpadu. Hal lainnya yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran akan pentingnya keterlibatan dan jalinan kerjasama antar instansi teknis dalam upaya keberlanjutan program pemantauan lingkungan hidup. Program pemantauan lingkungan pesisir dan laut terpadu Bali disusun berdasarkan mekanisme keterpaduan program yang dilaksanakan di kawasan pesisir.


BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
    Berdasarkan pembahasan terhadap berbagai kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di kawasan pesisir dan laut Bali, dapat disimpulkan beberapa hal yakni:
a.    Berbagai program pembangunan di Bali, khususnya di kawasan pesisir dan laut telah menimbulkan pertumbuhan perekonomian yang mengakibatkan terciptanya lapangan kerja baru,. Namun, perkembangan wilayah yang terjadi akibat pembangunan tersebut telah menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
b.    Kawasan pesisir dan Laut Bali adalah kawasan yang paling mendapat tekanan dari adanya kegiatan pembangunan tersebut, sehingga program program pemantauan lingkungan terpadu memiliki peran yang strategis dalam upaya pengelolaan dan manajemen kawasan.
c.    Sinergi peran pemerintah, swasta/industri dan masyarakat dalam upaya mengurangi dampak negatif pembanguan di kawasan pesisir dan laut dapat dillakukan dengan mengimplementasikan konsep pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu (ICM).

DAFTAR PUSTAKA

Bapedalda Bali, 2001, Study on Comulative Environmnetl Impact (SOCEI), Final Report
Burbridge, P.R., 1986. Problems and issues of coastal zone management. In Man, Land and Sea. The Agricultural Development Council. Bangkok.
Dharma Putra,K.G..2010, Pencemaran Lingkungan Ancam Pariwisata Bali.Denpasar: Penerbit PT Pustaka Manikgeni.
GEF/UNDP/IMO Regional Programme on Building PEMSEA,2002, Coastal Strategy for the Southeastern Coast of Bali.
http://kgdharmaputra.blogspot.com/

migrasi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat desa

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Berdasarkan data pada tahun 2011, yang diungkapkan oleh Menteri Pembangunan Desa Tertinggal kala itu, diketahui bahwa jumlah desa di Indonesia adalah sekitar 70.611 desa, dan 45 % diantaranya masuk ke dalam kategori desa tertinggal. Untuk meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia, tentunya tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi di desa-desa yang ada di negara ini. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dikaji hubungan antara migrasi dan pertumbuhan ekonomi di desa, sejauh mana peranan pembangunan ekonomi desa melalui migrasi sirkuler dapat meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Goldscheider (1985) menggambarkan adanya variasi tipe-tipe migrasi yang kompleks dalam struktur sosial suatu masyarakat. Oleh karena itu, perubahan struktur sosial masyarakat tidak hanya mengubah pola-pola migrasi, tetapi perubahan migrasi secara perlahan-lahan bisa mengubah struktur sosial masyarakat di suatu komunitas atau kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Menurut Todaro(2004), migrasi adalah suatu proses perpindahan sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjin sosialnya bukan hanya positif, tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi.
Pelaku migrasi sirkuler sebagian besar terdiri dari: buruh tani, penduduk pedesaan yang bukan petani (pedaganng, tukang dengan keterampilan tertentu, buruh serabutan), dan penganggur (tanpa pendidikan dan/atau dengan sedikit bekal pendidikan). Di samping itu, diantara mereka terdapat pula petani kecil/ gurem dan/atau petani yang tidak bertanah (punya tanah dan punya modal) yang turut ambil bagian dalam kegiatan migrasi sirkuler ini.
Terkait dengan ulasan di atas migrasi dapat menyebabkan adanya transformasi sosial-ekonomi. Transformasi sosial-ekonomi dapat didefinisikan sebagai “proses perubahan susunan hubungan-hubungan sosial-ekonomi (sebagai akibat pembangunan). Lee (1966) dalam teorinya “ Dorong – Tarik” (Push-Pull Theory) berpendapat bahwa migrasi dari desa ke kota disebabkan oleh faktor pendorong di desa dan penarik di kota. Teori tersebut menerangkan tentang proses pengambilan keputusan untuk bermigrasi yang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, faktor-faktor rintangan, dan faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor yang terdapat didaerah asal dan tujuan dibedakan menjadi tiga, yaitu: faktor-faktor daya dorong (push factor), faktor-faktor daya tarik (pull factor), dan faktor-faktor yang bersifat netral (neutral).
Faktor-faktor yang bersifat netral pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap pengembilan keputusan untuk bermigrasi. Todaro (2004) menjelaskan bahwa pertumbuhan migrasi dari desa ke kota yang terus menerus meningkat merupakan penyebab utama semakin banyaknya pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan, namun sebagian lagi disebabkan lagi oleh pemerintah di masing-masing negar paling miskin. Sadar atau tidak mereka juga turut menciptakan pemukiman kumuh tersebut. Maka dari itu, kebanyakan warga desa memilih untuk melakukan migrasi sirkuler. Dalam makalah ini akan dibahas lebih dalam faktor dan dampak migrasi sirkuler di desa dan pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi secara nasional.
I.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini ialah :
1.    Mengapa migrasi sirkuler menjadi faktor penting bagi peningkatan ekonomi desa?
2.    Apa dampak yang dihasilkan dari migrasi sirkuler terhadap peningkatan ekonomi desa?
3.    Sejauh mana peningkatan ekonomi desa bisa meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia?
I.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan maslah yang ada tujuan penulisan karya ilmiah ini, yaitu:
1.    Untuk mengetahui alasan migrasi sirkuler merupakan faktor penting bagi peningkatan ekonomi desa.
2.    untuk mengetahui dampak dari migrasi sirkuler terhadap peningkatan ekonomi desa.
3.    Untuk menjadikan migrasi sirkuler sebagai salah satu solusi bagi pembangunan ekonomi nasional berbasis kemajuan ekonomi desa.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pentingnya Peningkatan Perekonmian Desa
Masyarakat desa sebagai dasar awal dalam pembangunan di Indonesia, sampai saat ini masih sering terlupakan. Masyarakat desa pada umumnya sebagian besar dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Pemenuhan akan kebutuhan mereka pun rasanya masih sulit untuk terpenuhi. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembangunan ekonomi suatu negara tidak lepas dari pembangunan bagian kecilnya sekalipun, yaitu desa. Kemajuan perekonomian desa-desa dan semua wilayah atau dengan kata lain pemerataan kemajuan ekonomi merupakan target penting dalam pembangunan ekonomi negara.
Kondisi desa saat ini pun masih cukup memprihatinkan, sekitar 45% desa di Indonesia masih masuk dalam kategori tertinggal (yusuf, 2006). Oleh karena itu, kemajuan perekonomian desa memiliki andil yang cukup besar, dan salah satu solusi yang kami tawarkan untuk memajukan perekonomian desa untuk mencapai keseimbangan kesempatan ekonomi antara desa dan kota adalah dengan migrasi sirkuler. Karena peningkatan ekonomi desa yang dilakukan dengan kesadaran penuh tiap individu yang berada di dalamnya akan membangun sistem perekonomian yang lebih maju dan kuat, dimana ini bisa terbentuk dengan adanya migrasi sirkuler yang terencana.
2.2 Pentingnya Migrasi Sirkuler sebagai Faktor Peningkatan Ekonomi Desa   
Menurut Kartomo (Wirosuhadjo, 1981:116) definisi migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari satu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/ Negara ataupun batas administratif/ batas bagian Negara. Selanjutnya Kartomo mengatakan bahwa apabila seseorang tidak bermaksud menetap di daerah yang didatangi dan telah tinggal di daerah itu kurang dari tiga bulan, maka orang tersebut dapat digolongkan dalam migrasi sirkuler. Sementara Hadi Supadmo(1991:2) mendefinisikan  mobilitas sirkuler adalah penduduk yang bekerja di luar wilayah desanya dan pulang kembali setelah minimal dua hari dan maximal enam bulan baik secara teratur maupun tidak. Batas waktu  minimal dua hari untuk membedakan dengan mobilitas ulang-alik dan batas waktu maximal enam bulan untuk membedakan dengan migran menetap. Mantra (1988), menyatakan bahwa batasan tempat dan waktu tersebut lebih banyak ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Mobilitas atau perpindahan penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat untuk hanya menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas penduduk terhadap pembangunan yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebaikannya. Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobilitas penduduk. Tetapi juga tidak akan terjadi pengarahan penyebaran penduduk yang berarti tanpa adanya kegiatan pembangunan itu sendiri.
Lee (1966) dalam teorinya “ Dorong – Tarik” (Push-Pull Theory) berpendapat bahwa migrasi dari desa ke kota disebabkan oleh faktor pendorong di desa dan penarik di kota. Teori tersebut menerangkan tentang proses pengambilan keputusan untuk bermigrasi yang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, faktor-faktor rintangan, dan faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor yang terdapat didaerah asal dan tujuan dibedakan menjadi tiga, yaitu: faktor-faktor daya dorong (push factor), faktor-faktor daya tarik (pull factor), dan faktor-faktor yang bersifat netral (neutral). Faktor-faktor yang bersifat netral pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap pengembilan keputusan untuk bermigrasi.
Desa sangat erat hubungannya dengan kemiskinan, karena perekonomian di desa dipandang sangat tertinggal dibandingkan dengan di kota. Tidak hanya itu, sumber daya yang ada di desa baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dianggap tidak memiliki prospek yang bagus untuk kemajuan desa. Sektor  pertanian biasanya merupakan mata pencahariaan utama di desa, namun pada kenyataannya kini sektor pertanian sudah tidak dapat menyejahterakan warga desa lagi.
Mantra (1981), juga menyebutkan adanya kekuatan yang mendorong penduduk untuk pergi ke daerah lain (kekuatan sentrifugal), yaitu ; ketidakpuasan pendapatan di bidang pertanian, kurangnya kesempatan kerja dan keterbatasan fasilitas. Rusli (1982), menambahkan bahwa tingkat upah yang rendah dari pekerjaan-pekerjaan pertanian mendorong penduduk desa untuk cenderung mencari pekerjaan-pekerjaan non pertanian seperti pekerjaan di bidang industri. Intinya adalah ketidakpuasaan terhadap upah atau pendapatan yang diperoleh di tempat asal mendorong seseorang pergi ke kota dan berharap akan mendapatkan upah yang lebih baik.
Setelah sebagian besar warga desa melakukan migrasi ke kota, ternyata mereka tidak tahan berlama-lama hidup di kota. Hal ini bisa jadi karena desa memiliki penahan yang kuat sebagai tempat tinggal, hal tersebut disebabkan adanya ikatan keluarga, biaya hidup murah, dan dapat bercocok tanam.  Sementara Mantra (1981) dalam penelitiannya di Daerah Istimewa Yogyakarta, meyebutkan adanya kekuatan yang menahan penduduk untuk tetap tinggal di desa (kekuatan sentripetal) yaitu:
a.    Ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang erat, yang tercermin dari semboyan “Mangan ora mangan waton kumpul”.
b.    Sistem gotong royong yang kuat, yakni tiap warga desa merasa mempunyai tugas moral untuk saling membantu warga desa yang lain.
c.    Pemilikan tanah pertanian memberikan status yang tinggi, karena itu enggan meninggalkan desa untuk menetap di daerah lain.
d.    Ikatan batin dengan leluhur mereka, dilakukan dengan mengunjungi makam leluhur setiap bulan ruwah (sya’ban) dan lebaran (syawal).
e.    Ongkos transportasi yang tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan mereka. Lebih lanjut Mantra (1981) menyebutkan bahwa untuk mengatasi kedua kekuatan ini maka penduduk desa memilih jalan tengah yaitu dengan migrasi sirkuler.
Dari berbagai macam penjelasan tentang keterkaitan antara migrasi sirkuler dan peningkatan ekonomi di desa, dapat dikatakan bahwa migrasi sirkuler menjadi pilihan yang efektif bagi peningkatan ekonomi desa. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan pendapatan dari para pelaku migrasi sirkuler yang setiap bulannya selalu dikirimkan kepada keluarga mereka di desa. Dari uang kiriman para imigran tersebut terlihat adanya peningkatan GDP desa dan peningkatan taraf hidup masyarakat desa. Sebagian besar uang kiriman tersebut digunakan untuk memperbaiki kebutuhan dasar mereka, seperti ; pangan, sandang, dan papan. Selebihnya uang tersebut digunakan untuk memperbaiki infrastruktur desa.


2.3 Dampak Migrasi Sirkuler terhadap Peningkatan Ekonomi Desa
Migrasi sirkuler muncul untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat desa. Adanya migrasi dapat menyebabkan adanya transformasi sosial-ekonomi. Transformasi sosial-ekonomi dapat didefinisikan sebagai “proses perubahan susunan hubungan-hubungan sosial-ekonomi (sebagai akibat pembangunan). Desa dirasa perlu memiliki sebuah lembaga keuangan yang berfungsi untuk mengelola keuangan para migran guna membantu peningkatan pembangunan desa agar proses pembangunan terkontrol dengan baik.
Pada dasarnya masyarakat pedesaan (khususnya di Jawa) sebenarnya merasa enggan untuk pergi untuk meninggalkan desanya. Akan tetapi karena mekanisme bekerjanya faktor-faktor di luar kemauan dan kemampuan merekalah maka sebagian dari mereka terpaksa pergi meninggalkan desanya. Oleh karena itu, kepergian mereka dari desa, sebagian besar hanya bersifat sementara.
Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned migraton). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya. Dalam hubungan ini tidak ada unsur paksaan untuk melakukan migrasi. Tetapi semenjak dasawarsa 1970-an banyak dijumpai pula mobilitas penduduk  yang bersifat paksaan atau “dukalara” atau terdesak (impelled) (Peterson,W:1969). Mobilitas penduduk akibat kerusuhan politik atau bencana alam seperti yang terjadi di Sakel ataupun Horn, Afrika merupakan salah satu contoh. Adanya berbagai tekanan dari segi politik, sosial, ataupun budaya menyababkan individu tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk melakukan perhitungan manfaat ataupun kerugian dari aktivitas migrasi tersebut. Mereka berpindah ke daerah baru dalam kategori sebagai pengungs (refugees). Para pengungsi ini memperoleh perlakuan yang berbeda di daerah tujuan dengan migran yang berpindah semata-mata karena motif ekonomi (Beyer, Gunther;1981; Adelman: 1988).
Terdapat dampak positif dan negatif yang diakibatkan oleh  migrasi. Dampak positifnya adalah peningkatan penghasilan para imigran yang berdampak pada peningkatan:
1.    Kebutuhan dasar,
Sekarang mereka dapat membeli bahan-bahan makanan yang bergizi dalam jumlah yang lebih banyak, mereka juga dapat memperbaiki rumah-rumah mereka yang biasanya menggunakan bilik sekarang sudah menggunakan tembok, baju yang mereka gunakan lebih modern daripada dulu, seperti penggunaan kebaya yang sudah ditinggalkan dan kini mereka mulai menggunakan kaos dan celana jeans, sudah mulai dibangun beberapa lembaga kesehatan seperti puskesmas dan posyandu di desa guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan juga untuk memperbaiki gizi masyarakat. Kesehatan dan pendidikan adalah investasi yang dibuat dalam individu yang sama.
Modal kesehatan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan karena:
a.    Kesehatan adalah faktor penting atas kehadiran di sekolah.
b.    Anak-anak yang sehat lebih berprestasi di sekolah/ dapat belajar secara lebih efisien.
c.    Kematian yang tragis pada anak-anak usia sekolah juga meningkatkan biaya pendidikan per tenaga kerja, sementara harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan.
d.    Individu yang sehat lebih mampu menggunakan pendidikan secara produktif di setiap waktu dalam kehidupannya.
Modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi kesehatan karena:
a.    Banyak program kesehatan bergantung pada berbagai keterampilan yang dipelajari di sekolah (termasuk melek huruf dan angka).
b.    Sekolah mengajarkan pokok-pokok kesehatan pribadi dan sanitasi.
c.    Dibutuhkan pendidikan untuk membentuk dan melatih petugas pelayanan kesehatan.
Setelah adanya peningkatan pendapatan para imigran, perbaikan efisiensi produktif dari investasi dalam pendidikan dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam kesehatan yang meningkatkan harapan hidup.
2.    Infrastruktur
Lembaga pengelolaan penghasilan imigran dapat membantu untuk memperbaiki infrastruktur di desa. Pendanaan pembangunan tersebut diperoleh dari iuran yang dikumpulkan secara kolektif oleh lembaga tersebut untuk memperbaiki beberapa  sarana dan prasarana di desa, seperti; jalanan, masjid, gedung sekolah, kantor kepala desa, dan saluran irigasi.
Seperti kasus di Desa Ciasihan, kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Kondisi infrastuktur yang ada di desa pada awalnya sangat buruk, akan tetapi seiring dengan berkembangnya informasi dan semakin luasnya pandangan masyarakat tentang pentingnya sarana dan prasarana. Maka dengan uang yang mereka kumpulkan di Lembaga Keuangan Desa, mereka dapat memperbaiki sedikit demi sedikit prasarana yang ada, seperti, pembuatan WC Umum dan adanya penyaluran air bersih dari gunung melalui selang-selang yang dipasang hingga tempat-tempat penampungan air yang tersedia.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh migrasi sirkuler terhadap  pembangunan ekonomi di desa adalah memburuknya keseimbangan struktural antara desa dan kota secara langsung dalam dua hal. Pertama di sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan pertumbuhan penduduk, yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Lonjakan yang setinggi itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, dan semakin lama semakin sulit diakomodasikan, apalagi proporsi migran berusia muda yang memiliki pendidikan dan keterampilan memadai semakin besar. Kehadiran para pendatang tersebut cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara persediaan tenaga kerja yang sangat bernilai di pedesaan semakin tipis. Kedua, di sisi permintaan, penciptaan kesempatan kerja di daerah perlotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan lapangan kerja di pedesaan, karena kebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan membutuhkan aneka input-input komplementer yang sangat banyak jumlah maupun jenisnya. Di samping itu, tekanan kenaikan upah di perkotaan dan tuntutan karyawan untuk mendapatkan aneka tunjangan kesejahteraan, serta tidak tersedianya aneka teknologi  produksi “tepat guna” yang lebih padat karya juga membuat para produsen enggan menambah karyawan karena sekarang peningkatan output sektor modern tidak harus dicapai melalui peningkatan produktivitas atau jumlah pekerja.
Di samping itu juga adanya penurunan jumlah sumber daya manusia untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sosial atau kegiatan gotong royong guna membangun desa.  Bila hal ini berlangsung terus-menerus dikhawatirkan bahwa kehidupan sosial dan gotong royong yang ada di desa saat ini makin lama akan menjadi sirna.
Hal-hal yang diuraikan di atas terutama tampak dominan untuk daerah-daerah yang jarak antara kota dan desa dapat dikatakan sedang atau jauh (jauh dan sedang dalam arti waktu dan/ atau kemudahan fasilitas transportasi) lain halnya dengan daerah-daerah pedesaan yang dalam arti waktu dan kemudahan fasilitas transportasi tersebut relatif dekat dengan kota.
Menurut Todaro (2004), ada beberapa dampak yang dihasilkan dari migrasi sirkuler yaitu penciptaan keseimbangan ekonomi antara kota dan desa. Keseimbangan kesempatan ekonomi yang lebih layak antara desa dan kota merupakan suatu unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dalam strategi menanggulangi masalah-masalah pengangguran di desa-desa maupun kota-kota di berbagai Negara-negara berkembang serta untuk mengurangi migrasi desa ke kota; Perluasan industri kecil yang padat karya. Komposisi atau bauran output sangat mempengaruhi jangkauan (dan dalam banyak hal, termasuk juga lokasi) kesempatan kerja karena beberapa produk (terutama barang-barang konsumsi pokok) membutuhkan lebih banyak tenaga kerja bagi setiap unit output dan setiap unit modal daripada produk atau barang-barang lainnya; Pengurangan laju pertumbuhan penduduk melalui upaya pengentasan kemiskinan absolute dan perbaikan distribusi pendapatan, terutama bagi kaum wanita yang disertai dengan menggalakkan program-program keluarga berencana dan penyediaan pelayanan kesehatan di daerah-daerah pedesaan.
2.4. Peningkatan Ekonomi Desa dalam Peningkatkan Pembangunan Ekonomi  Indonesia
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa jumlah desa di Indonesia menacapai lebih dari 70 ribu, dan 45 % diantaranya masuk ke dalam kategori desa tertinggal. Sehingga untuk peningkatan pembangunan ekonomi Indonesia, tentunya tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi di desa-desa yang ada di negara ini.
Desa atau perdesaan merupakan bagian penting dari perencanaan da pembangunan. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di perdesaan, namun ironisnya hal ini berbanding lurus dengan kondisi kemiskinannya, dimana kantong-kantong kemiskinan juga berada di perdesaan. Masyarakat perdesaan yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, sangat sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Ketahanan suatu bangsa sebaiknya dibangun dari daerah-daerah, yaitu desa. Sehingga jika sebelumnya telah diketahui dampak migrasi sirkuler terhadap pertumbuhan ekonomi desa, maka dengan adanya peningkatan ekonomi desa inilah akan membuat semaikn kuatnya perekonomian dan pembangunan nasional.
Dengan adanya migrasi yang terkondisikan dengan baik, maka kemudian akan membuat suatu keseimbangan perekonomian antara desa dan kota, dimana hal ini sangat berpengaruh penting dalam pembangunan nasional. Kesempatan ekonomi yang setara antara desa dan kota akan menimbulkan suatu kesempatan kerja yang setara antara desa dan kota sehingga kemudian tingkat migrasi bisa ditekan kembali, sehingga keseimbangan perekonomian desa dan kota bisa terus terjaga. Sehingga adanya peningkatan ekonomi desa melalui migrasi ini bisa dijadikan suatu solusi bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Migrasi adalah suatu proses perpindahan penduduk dari satu lokasi yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjin sosialnya bukan hanya positif, tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya peningkatan modal dan kemajuan teknologi.
Migrasi sirkuler merupakan salah satu faktor penting untuk membangun ekonomi desa. Walaupun demikian, migrasi sirkuler dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya dalam segi ekonomi, akan tetapi juga dari segi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan infrastuktur desa. Maka dari itu, perlu adanya pensinergian antara pembangunan di desa dan di kota agar tidak adanya ketimpangan jumlah penduduk dari proses migrasi sirkuler.
Dampak yang diharapkan dari migrasi sirkuler yaitu penciptaan keseimbangan ekonomi antara kota dan desa, sebagai strategi dalam perluasan lapangan kerja tidak hanya di kota namun juga di desa sehingga kemudian akan mengurangi angka migrasi dengan sendirinya. Sehingga pembangunan ekonomi Indonesia secara merata akan tercapai, baik di desa maupun di kota.
3.2 Saran
Perlu adanya campur tangan pemerintah daerah dalam mengelola ekonomi suatu desa dan kota agar dapat mengontrol jumlah penduduk desa yang melakukan migrasi sirkuler. Kesadaran masyarakat desa untuk membangun perekonomian di desanya juga sangat diperlukan agar mereka mau berpartisipasi aktif membangun perekonomian di desa mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Goldscheider, Calvin. 1985. Populasi,Modernisasi dan Struktur Sosial. Terjemahan oleh Algozali Usman dan Andre Bayo Ala. CV Rajawali.
Mantra, I.B. 1978. Population Movement In Wet Rice Communities : a case study of two Dukuh In Yogyakarta Special.
Lee, Eevert, 1966. Teori Migrasi. Diterjemahkan oleh Hans Daeng. Pusat Penelelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ke 8.
http://us.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/09/tgl/12/time/163933/idnews/673876/idkanal/10
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2846/
http://www.scribd.com/doc/13619836/Membangun-Desa-Membangun-Indonesia

kerajinan bambu

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
    Pembangunan sentra industri / kerajinan rakyat pada hakekatnya adalah kegiatan awal untuk memacu pembangunan ekonomi rakyat di wilayah pedesaan. Secara bertahap kegiatan produksi pertanian diupayakan untuk diikuti oleh muncul dan berkembangannya kegiatan ekonomi terkait, baik secara horizontal maupun vertikal serta pengadaan jasa-jasa di sekitarnya sehingga menumbuhkan perekonomian masyarakat.
    Pembangunan sentra industri/kerajinan rakyat akan lebih efektif kalau didukung dengan mengerahkan kegiatan lintas sektor maupun subsektor terfokus dan terintregasi pada lokasi yang telah terpilih. Upaya terfokus ini seyogyanya dilaksanakan multi tahun secara berkelanjutan, untuk mendukung dan menghantarkan petani dan masyarakat pelaku usaha setempat mampu melakukan dan menjalin kegiatan-kegiatan industri/kerajinan rakyat dengan kekuatan sendiri secara bekersinambungan.
    Untuk membangun sentra industri/kerajinan rakyat tersebut diperlukan sub-sub kegiatan mulai dari penyediaan input, budidaya bahan baku (bambu dan kayu), teknologi proses , pemasaran serta prasarana dan kelembagaan pendukung yang merupakan paduan berbagai bidang kerja yang berada pada kendali dari berbagai pihak, yaitu pemerintah, koperasi dan masyarakat, termasuk pengusaha swasta perorangan dan badan usaha. Untuk itu harus disusun Rancangan multi tahun Pengembangan Sentra Komoditas Unggu¬lan (SPAKU) Industri/Kerajinan-rakyat Bambu .
    Agar pembangunan sentra tersebut berhasil, kegiatan dan pendanaan yang tersebar secara parsial harus dapat dikoordinasikan dan dirangkai ke dalam suatu kegiatan yang saling bersambung, membentuk sistem agribisinis yang utuh. Untuk itu koordinasi perencanaan dan pengendalian sejak tingkat propinsi hingga tingkat lokasi, yang menjamin terfokusnya berbagai sumberdaya dan dana untuk pengembangan sentra dimaksud merupakan aspek yang sangat penting. Sehubungan dengan hal itu peranan Pemerintah Daerah sebagai penguasa wilayah dan Jajaran DEPHUTBUN sebagai pemilik sumberdaya lahan dapat mengatur gerak pembangunan sentra industri/kerajinan rakyat bambu tersebut.
    Rancangan seyogyanya memuat gambaran kondisi saat ini, sentra industri/kerajinan rakyat yang akan diwujudkan, rincian kegiatan yang akan dilaksanakan, kontribusi yang harus diberikan setiap sektor, sub sektor maupun institusi sektoral, subsektoral maupun institusi lainnya. Rancangan tersebut dilengkapi dengan mekanisme perencanaan, pelasanaan, koordinasi dan pengendalian di tingkat lokasi hingga tingkat propinsi. Untuk itu keterlibatan seluruh instansi yang terkait, dalam pengembangan rancangan ini sangat penting.
B.    RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini ialah:
1.    Bagaimana peranan kerajinan bambu dalam meningkatkan perekonomian masyarakat desa?
2.    Apa saja faktor yang mendorong kerajinan bambu dalam memajukan perekonomian masyarakat desa?

C.    TUJUAN MASALAH
    Rancangan Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan (SPAKU) Kerajinan Bambu ini merupakan rencana induk serta rencana operasional multi tahun atas pengembangan sentra industri/kerajinan rakyat bambu , untuk memberi kekuatan awal, memfasilitasi dan memandu masyarakat setempat, hingga mampu menggerakkan industri/kerajinan rakyat dengan kekuatan sendiri.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    SASARAN DAN LINGKUP KEGIATAN

1.    Sasaran
    Penyusunan rencana menyeluruh atas lokasi pengembangan sentra komoditas Unggulan kerajinan bambu ini menghasilkan dokumen rancangan yang memuat hal-hal sebagai berikut :
a.    Rancangan output, target grup, manfaat yang dihasilkan proyek, dilengkapi dengan disain fisik dan indikator pengukurnya.
b.    Rencana tahapan kegiatan hingga terwujudnya Sentra dimaksud, memuat rencana kegiatan sinergis lintas sektor, subsektor, pro¬gram dan institusi, beserta volume fisik menurut tahapan yang disepakati.
c.    Rencana Operasional rinci yang harus dilaksanakan.
d.    Mekanisme koordinasi perencanaan dan pengendalian di tingkat lokasi, Dati II, Dati I yang mengait dengan tingkat pusat.

2.    Lingkup Kegiatan
Beberapa aspek yang harus dicakup adalah sebagai berikut.
A. Penetapan Lokasi dan Sasaran Jenis Usaha
    Pemilihan lokasi didasarkan atas ketersediaan lahan (kawasan hutan negara), kesesuaian lahan serta agroklimatnya, kesiapan prasarana penunjang, ketersediaan tenaga kerja serta sumberdaya lain yang membentuk keunggulan lokasi yang bersangkutan. Pemilihan komoditas utama industri/kerajinan bambu dan produk penunjang serta jenis usahanya didasarkan atas potensi menghasilkan keuntungan, potensi pemasarannya, kesiapan dan penerimaan masyarakat atas jenis usaha tani yang akan dikembangkan serta keselarasan dengan kebijakan pembangunan daerah. Untuk menduga keunggulan wilayah serta produk yang akan dipilih dilakukan analisis kuantitatif dan kualitatif yang memperhatikan faktor-faktor ekonomi dan sosial.
B. Penentuan Kegiatan yang Dilakukan
    Penentuan kegiatan yang perlu dilakukan didasarkan atas analisis kondisi saat ini dan kondisi yang diinginkan dengan rincian menurut komponen-komponen penting sistem industri/kerajinan rakyat yaitu target grup, ketersediaan dan kesesuaian lahan serta prasarananya, ketersediaan sarana produksi, kemampuan pengelolaan teknologi proses, pemasaran, dukungan prasarana dan kelembagaan.

C. Rincian Kegiatan Sinergis Lintas Sektoral
    Tahapan kegiatan tersebut selanjutnya diuraikan menurut program/proyek tahunan serta dukungan institusi yang harus memberikan kontribusi terhadap pembangunan sentra industri/kerajinan rakyat bambu . Secara garis besar hal ini dapat disajikan dalam bentuk matriks keterpaduan pengembangan Sentra Industri/kerajinan rakyat Bambu . Kegiatan antara lain meliputi :
(1). Pengembangan Budidaya Bambu
    Pengembangan budidaya bambu dan komplementernya, diidentifikasi menurut volume fisik yang jelas. Garis besar kegiatannya meliputi persiapan lahan dan petani, pelatihan usahatani, penyediaan agroinput, alat pertanian dan penyelenggaraan penyuluhan. Pembinaan teknis budidaya, cara memanen dan cara untuk mempertahankan kualitas produk, perlakuan pasca panen.
(2). Pembinaan Teknologi Proses Industri/Kerajinan dan Pemasaran
    Peningkatan ketrampilan teknis dalam teknologi proses seperti mengemas dan menyeleksi hasil produksi serta peralatan yang diperlukan untuk mempertahankan kualitas hingga cara prosesing akhir produk untuk meningkatkan nilai tambah serta kemampuan pemasaran. Untuk melaksanakan pembinaan dengan sarana yang tersedia di wilayah agar lebih optimal, maka kerjasama dengan Jajaran Departemen Perindustrian dan Perdagangan setempat harus dilakukan. Sinergi kegiatan hanya dapat dicapai dengan koordinasi perencanaan dan pembagian tugas yang jelas.
(3). Pembinaan Pengembangan Usaha Bersama .
    Kelompok kegiatan yang menyangkut peningkatan kemam puan mengelola usaha dan melaksanakan kemitraan dengan pedagang, eksportir maupun industri pengelohan pangan dilak sanakan melalui pembinaan Kelompok Usaha Bersama Industri/kerajinan rakyat (KUBA) dan Koperasi Perajin Bambu , pembentukan Forum Komunikasi (FORKA) Perajin Bambu, pelaksanaan temu-temu usaha, pelatihan kewirausahaan dan promosi produk.
(4). Kegiatan Penunjang
(a). Pelayanan Sarana Produksi dan Peralatan
    Lembaga pelayanan ini (Misalnya Koperasi Perajin bambu atau KUD yang telah ada) diperlukan untuk membantu penyediaan sarana produksi dan peralatan yang dibutuhkan para petani, perajin, pedagang dan pengolah produk untuk melaksanakan kegiatan usahanya. Pelayanan ini harus ada untuk menjamin ketersediaan sarana usaha tepat waktu, jumlah dan harga yang wajar. In¬stansi pemerintah setempat harus mampu menciptakan iklim usaha dan memberikan dukungan agar koperasi atau pengusaha dapat menja¬lankan fungsinya secara wajar. Diperlukan rekomendasi berbagai program insentif untuk mendorong tumbuhnya lembaga pelayanan, khususnya untuk lokasi yang terpencil.

(b). Pelayanan Informasi Teknologi Inovasi Tepat Guna
    Identifikasi jenis teknologi spesifik yang diperlukan untuk pembangunan sentra industri/kerajinan rakyat Bambu diharapkan dapat dilakukan oleh Lembaga-lembaga Sumber Inovasi Teknologi milik Pemerintah dan Suasta. Pelayanan ini antara lain mencakup disain produk, penentuan/pemilihan bahan baku, teknologi proses dan kemas, manajemen koperasi dan Promosi/pemasaran. Kerjasama peneliti - penyuluh dalam hal alih tehnologi kepada perajin harus dilakukan secara intensif.
(c). Pelayanan Kesehatan Kerja
    Kegiatan perlindungan yang harus mengawali pelaksanaan sentra industri/kerajinan rakyat terutama adalah pengawasan sebagai tindakan preventif serta metode penanggulangan gangguan yang mungkin mengganggu usaha produksi. Hal ini sangat penting untuk mencegah kerugian akibat kegagalan produk atau penurunan kualitas produk. Pelayanan ini perlu dirinci dengan volume dan jenis kegiatan yang jelas, serta peralatan penunjang yang diperlukan.

(d). Pelayanan / Pembinaan Bahan Baku dan Penunjang
    Penyediaan bahan baku bambu dan Sarana Penunjang lain dapat dirancang untuk mendukung pengembangan komoditas unggulan Bambu pada wilayah sentra industri/kerajinan rakyat. Kegiatan yang diperlukan beragam menurut volume dan jenis. Aspek ini mencakup penga¬daan dan pengawasan bahan baku dan bahan penunjang untuk kerajinan bambu.
(e). Pembinaan Penyuluhan
    Jajaran Dinas PKT dan PKL ditingkatkan kemampuannya agar dapat memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya sebagai media tempat bertanya, berlatih, berbagi pengalaman antar perajin dan tempat pertemuan antara petani, pedagang dan pengelola industri/kerajinan rakyat/pengusaha. Untuk itu perlu dipersiapkan SDM serta perangkat keras dan lunak yang memadai untuk menjalankan fungsi pusat pelayanan industri/kerajinan rakyat.




B.    KERAJINAN BAMBU DI GARUT
    Garut memiliki banyak sekali farietas bambu dengan sebaran tumbuh yang sangat luas dihampir seluruh wilayah Garut. Ada 2 bentuk kerajinan bambu yang terdapat di Kec. Selawi yaitu Anyaman dan Sangkar Burung yang sudah punya nama dikalangan pecinta burung kicau. Industri Kerajinan Bambu
Unit Usaha : 2.730 unit
Tenaga kerja : 10.720 orang
Kapasitas per tahun : 461.805 kodi (anyaman) 299.502 buah (sangkar burung)
Nilai investasi : Rp. 1.092.000.000
Nilai produksi : Rp. 32.000.000.000
Negara tujuan ekspor : -Sebanyak 2.600 kepala keluarga (KK) atau sekitar 3.800 jiwa dari jumlah penduduk keseluruhan 3.900 KK atau 5.875 jiwa dari tujuh kampung di Desa Putrajawa, Kec. Selaawi, saat ini mengalami rawan daya beli. Hal itu terjadi sebagai dampak kemarau panjang beberapa waktu lalu. Mereka berada di Kampung Burujul, Cikakak, Cikuya, Depok, Lemburtengah, Lemburkulon, dan Babakan Awi.
Beruntung keadaan mereka tidak separah warga Garut lainnya yang mengalami rawan pangan dan daya beli seperti di Kec. Pakenjeng atau Cisewu yang sampai mengonsumsi bubur, pisang muda, dan gadung. Namun begitu, ribuan penduduk Putrajawa tersebut sejak sebulan terakhir terpaksa mengonsumsi nasi hanya satu kali sehari karena tak memiliki cukup uang lagi untuk membeli beras.
Menurut Ketua Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al-Barokah Kp. Burujul, Rachmat, S.Ag., M.Si. didampingi Kepala Dusun, Ipin Solihin, Rabu (7/2), mereka yang rawan daya beli itu kebanyakan sebagai buruh tani dan sebagian lainnya buruh menganyam perabotan rumah tangga. Tidak sedikit di antara mereka merupakan janda jompo. Rachmat menyebutkan, sebagian besar dari sebanyak 3.900 KK atau 5.875 jiwa penduduk Desa Putrajawa terbilang keluarga miskin. Bahkan, tak sedikit rumah tinggalnya dibangun melalui bantuan masyarakat secara gotong royong.
Menurut Rachmat, areal pertanian dilanda kekeringan dan tak bisa ditanami serta kondisi penjualan hasil anyaman yang menurun membuat mereka kehilangan penghasilan, untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya. Hal senada dikatakan Ipin Solihin. Menurutnya, sebagian besar areal pertanian di Desa Putrajawa lahan tadah hujan yang hanya bisa diolah pada saat musim hujan. “Beras raskin memang ada, tapi tak bisa menolong kebutuhan warga terhadap beras lebih lama”, imbuhnya.
Sementara itu, salah seorang penduduk Kp. Lembur Tengahkulon, Desa Putrajawa, Johan Abdullah (7), menderita perut buncit dan susah buang air besar. Untuk buang air besar, terpaksa mesti digurah air sabun yang dipompakan ke lubang anusnya. Hal tersebut dijalaninya sejak masih bayi.
Sepintas, penyakit yang diderita anak kedua dari empat bersaudara pasangan Dadin (40) dan Ny. Iah (30) itu mirip busung lapar. Pasalnya, bagian perutnya terlihat membuncit, kedua pasang kaki dan lengannya juga relatif kecil. Ditambah bola matanya sayu, kurang bergairah. Menurut Dadin, sesuai hasil pemeriksaan pihak RS dr. Slamet setahun lalu, anaknya itu dinyatakan menderita kejang usus.

C.    KERAJINAN ANYAMAN BAMBU DESA PASIR WARU- LIMBANGAN GARUT

    Meskipun hasil kerajinan tempat makanan dari anyaman bambu, seperti besek, saat ini sudah mulai banyak digantikan produk buatan pabrik, sejumlah perajin yang membuat barang tersebut ternyata masih mampu bertahan. Di antara sedikit pengrajin besek yang sampai saat ini masih bertahan, tinggal di Desa Pasirwaru. Salah satu Desa pengrajin besek yang bisa Yang bias anda temui.
Warga desa Pasir waru itu mengaku, meskipun saat ini sudah banyak produk pabrik yang menggantikan fungsi besek, barang hasil keterampilannya tidak terlalu sulit dipasarkan. Menurut Warga, dalam sepekan ia dapat menyelesaikan 100 sampai 200 pasang besek, dengan ukuran 18 x 18 centimeter. Warga juga mengaku, harga satu pasang besek, biasanya sekitar Rp 300.
    Selain membuat besek, Warga desa pasirwaru seperti pengrajin anyaman bambu lainnya yang ada di desa itu, juga bisa membuat beragam produk kerajinan yang lain, seperti alat penutup kepala berupa caping, wakul, tempat sampah, tempat pakaian kotor, tas, tempat bumbu dapur, dan tusuk sate.
Dari banyak jenis kerajinan dari bambu tersebut, salah satu warga mengatakan barang paling banyak diminta pasar adalah besek dan tusuk sate. Meski waktu pembuatannya cukup lama, para pengrajin pun tidak pernah menolak pesanan.
"Biasanya kalau dapat pesanan cukup banyak dari orang yang mau punya hajat, kami kerjakan secara bersama-sama dengan warga lainnya yang juga membuat besek. Mereka kerjakan di rumah masing-masing, kalau sudah jadi baru dikumpulkan.

    Pemasaran terbatas
    Berbeda dengan besek yang sering dibuatnya, hasil kerajinan bambu lainnya seperti tempat sampah dan caping, jarang dia buat. Pasalnya, pemasaran barang tersebut terbatas. "Kalau ada orang yang pesan, baru para pengrajin buat.
Sementara itu, menurut perajin lainnya di desa pasirwaru, hasil kerajinan yang paling menguntungkan adalah tusuk sate. Dijelaskan, selain tidak rumit, pemasarannya juga relatif mudah. Dalam sehari, rata-rata ia bisa membuat seribu batang tusuk sate yang dijual seharga Rp 600-Rp 700. Juk/ip

D.    KERAJINAN ANYAMAN DESA PASIR WARU - GARUT PERLU DIPROMOSIKAN

    Keranjang sebenarnya hanya salah satu dari berbagai macam bentuk dan jenis kerajinan asal Pengrajin desa pasirwaru yang dipajang di pasaran. Tampak juga mendominasi gantungan yang terbuat dari kayu mahoni dengan ukir-ukiran khas Pengrajin desa, bentuk lain yang bahan bakunya berasal dari batu tambang.
Begitu pula halnya dengan kerajinan dari kayu mahoni dan tumbuhan etak. Pasar kerajinan jenis ini sudah merambah pasaran kota dan permintaannya didominasi oleh kota-kota luar. Kendala guna memenuhi permintaan baik kerajinan Anyaman maupun kayu dari kota-kota yang yang meminta pesanan, setiap bulannnya warga desa pasir waru mengaku harus mengirim setidaknya setengahnya dari pesanan, besar dan kecil barang kerajinan nya. Namun, tidak semua permintaan dipenuhi karena keterbatasan pekerja. Untuk membantu terealisasinya permintaan tersebut, walau desa pasirwaru dominant dengan para pengrajin namun ada juga dari para pengrajin yang menginginkan utuk membuat kerajinan dengan cara dibayar lepas.
Sulitnya mencari baha yang sesuai dengan pesanan.
“Di sini sudah sangat jarang. Kalau mau menanam lagi butuh waktu yang lama.
    Dengan kondisi karyawan dan bahan baku yang cukup, mungkin seluruh permintaan dapat dipenuhi, Lebih penting lagi, persoalan pengiriman barang juga menjadi kendala. Saat ini belum ada fasilitas di Desa pasirwaru yang dapat mempermudah pengiriman barang seperti pengiriman dalam bentuk puso.
Fasilitas tersebut menurutnya hanya ada di jalan limbangan sebagai sebagai jalan utama, sehingga menyebabkan biaya tinggi akibat penambahan biaya pengiriman.
Akan tetapi, persoalan terpenting dari semua persoalan yang ada, kata masyarakat, adalah minimnya promosi kerajinan-kerajinan di desa pasirwaru ini secara umum oleh Dinas Pariwisata setempat. Untuk pameran saja, mereka harus mencari tahu sendiri. Dengan sendirinya, biaya pameran yang tergolong tinggi bagi para perajin pun harus ditanggung sendiri. “Selama ini yang menjadi buyer kami adalah penduduk yang ada di kota yang kebetulan berkunjung ke desa kami,” kata Salah satu warga
    Anyaman
    Berbagai kerajinan anyaman di Desa pasir waru – selaawi garut merupakan komoditi potensial untuk dikembangkan. Kerajinan anyaman yang perkembangannya sangat signifikan antara lain adalah kerajinan anyaman Bambu. Kerajinan Anyaman bamboo ini perkembangannya sangat bagus. Perkembangan ini bukan saja dari nilai penjualannya tetapi juga berkembang jenis dan desainnya. Berbagai bahan dari Bambu seperti Bambu hitam, Bambu kuning, sangat menarik untuk dibuat produk kerajinan. Jenis kerajinan yang dihasilkan dari bahan baku ini antara lain berbagai tas, taplak meja, perlengkapan meja makan bahkan sampai kotak pakaian dan benda fungsional lainnya.

E.    KERAJINAN ANYAMAN SIAP BERSAING DI PASAR GLOBAL

    Kawasan Sergai kaya akan daerah rawa-rawanya yang ditumbuhi rumput dan pandan, bahan baku kerajinan anyaman. Jika anda singgah di Desa Pasir waru pasti akan melihat banyak hasil kerajinan anyaman yang dijual selain tentunya Dodol Garut. Desa pasirwaru memang dikenal sebagai salah satu sentra kerajinan anyaman di Garut. Setidaknya menurut data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi sergai ada sekitar 30-an kelompok pengrajin anyaman yang tersebar diseluruh kabupaten. Umumnya berada dipesisi kota tempat dimana bahan baku berupa Bambu dan bahan pengrajin lainnya. Di daerah Garut ada beberapa desa yang menjadi sentra industri kerajinan ini antara lain desa Pataruman, Putra jawa, dan Pasirwaru. ”Kita punya sentra industri kecil di Garut yang membina para pengrajin ini, ” katanya. pengjarin untuk mengembangkan usahanya. Beberapa produksi kerajinan anyaman yang dihasilkan antara lain, tikar (dengan berbagai motif), keranjang, baki (tatakan), tas, sendal, dompet, tempat hp dan berbagai macam perlengkapan rumah tangga lainnya.

    Para pengrajin ini umumnya adalah para petani yang memanfaatkan waktu luang untuk menambah pendapatan keluarga. ”Para pengrajin ini tidak secara khusus mengerjakannya, apalagi memang keahlian menganyam diperoleh turun temurun,” kata Salah satu warga. Masalah klasik dalam mengembangkan kerajinan ini adalah pemasaran. Di garut sendiri telah berupaya dengan ikut serta dalam berbagai kegiatan pemeran baik lokal maupun nasional. ”Kita masih mengandalkan pasar lokal, kecuali beberapa produk yang memang sudah menembus berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung dan Tasik,” tandasnya. Agar dapat menjadikan kerajinan ini sebagai peluang bisnis bagi pengrajinnya, instansi ini terus melakukan berbagai pelatihan seperti manajemen, teknik penggunaan alat serta peningkatan kualitas. ”Kita berharap kerajinan ini bisa diandalkan sebagai peluang bisnis bagi mereka, Dari segi kualitas menurut Warga, hasil yang dikerjakan para pengrajin saat ini mampu bersaing dengan produk-produk sejenis dari daerah lain. Karenanya instansinya sangat terbuka untuk bekerjasama dengan pihak-pihak yang mau mengekspor kerajinan ini ke mancanegara. ”Dengan bahan baku yang melimpah kita siap memenuhi pesanan yang diminta.”



















BAB III
P E N U T U P

A.    KESIMPULAN
1. Faktor Pendorong, Penarik dan Penghambat
1.1. Faktor Pendorong
    Faktor pendorong adalah faktor yang dapat mendukung dan mempercepat keberhasilan pelaksanaan SPAKU Kerajinan Bambu, dengan faktor tersebut dapat lebih efisien dan efektif dalam mencapai sasaran yang diharapkan karena dapat memanfaatkan kondisi yang ada. Faktor tersebut terdiri dari :
a. Kebiasaan Masyarakat
Kebiasaan masyarakat di daerah pembangunan SPAKU sudah mengenal kerajinan bambu dan sebagian sudah menerapkan teknologi tepatguna, kondisi ini lebih akan cepat berkembang dalam arti bahwa masyarakat sudah mengenal lebih dahulu sehingga lebih cepat mengerti dan menerima untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
b. Untuk Wilayah Sasaran
Letak wilayah Jawa Timur cukup strategis, dalam arti jalur lalu lintas merupakan jalur perlintasan kegiatan ekonomi, kondisi ini mudah diketahui dan dikenal oleh para pembeli serta memperlancar dan mempercepat arus barang barang sehingga dapat dengan mudah dipasarkan/ diperdagangkan.
c. Aparat Penyuluh dan Aparat Desa
Aparat Penyuluh dan Aparat Desa sangat antagonis terhadap pelaksanaan Proyek SPAKU, dalam arti mereka mau dan siap menerima kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan agroindustri kerajinan bambu, dan juga karena pada awal mulainya Proyek SPAKU wilayah tersebut sebagian telah melaksanakan Program Pemberdayaan Perajin Bambu. Hal ini akan menciptakan susanan aparat yang lebih hasrat dan siap untuk menerima sekaligus dapat
mendorong keberhasilan pelaksanaan SPAKU.
1.2. Faktor Penarik
Faktor Penarik adalah faktor yang membuat Produsen tertarik untuk mengembangkan usaha kerajinan bambu . Faktor-faktor tersebut meliputi :
a. Permintaan pasar
Permintaan akan produksi kerajinan bambu relatif masih cukup tinggi, hal ini dicirikan masih belum ada masalah pemasaran produksi bahkan sebagian pembeli/pedagang selalu datang ke produsen untuk membeli produk tersebut .
b. Home Industri
Home industri yang mengolah produk-produk kerajinan bambu sudah mulai berkembang, hal ini merupakan suatu usaha untuk memenuhi, mengantisipasi selera pasar dan sekaligus meningkatkan nilai tambah bagi pendapatan petani.

1.3. Faktor Penghambat
Faktor Penghambat adalah faktor yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan SPAKU Kerajinan Bambu apabila tidak ada upaya jalan keluarnya. Faktor penghambat tersebut meliputi :
a. Pemasaran dan Permodalan
Modal dan manajemennya merupakan faktor pokok dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam memulai usaha produksi. Pada saat ini modal yang dimiliki masyarakat dirasakan masih kurang untuk mengembangkan usahanya. Maka pemenuhan permodalan ini sangat diharapkan oleh Para Perajin dalam mencukupi dan memulai usahanya (terutama dapat diperoleh dari Pihak Perbankan atau Bapak Angkat sebagai mitra kerja), sehingga pada akhirnya modal tidak lagi menjadi faktor penghambat.

b. INOVASI Teknologi dan Informasi Pasar
Gejolak dan fluktuasi pasar yang timbul secara mendadak biasanya mengakibatkan tekanan yang cukup besar terhadap sistem produksi dan perajin akan mengalami kerugian yang besar. Oleh karena itu berbagai macam jenis informasi pasar dan inovasi teknologi senantiasa diperlukan sedini mungkin untuk dapat diambil tindakan antisipasinya.
2. Pengorganisasian
Pengorganisasian SPAKU kerajinan bambu dilakukan dalam kerangka pengelolaan usaha agribisnis kerajinan bambu secara profesional. Dua macam organisasi yang terlibat ialah (1) organisasi pengendali, yaitu FORKA (Forum Komunikasi Agroindustri) yang beranggotakan instansi terkait, suasta, tokoh masyarakat dan ketua KUBA; dan (2) organisasi pengelola agribisnis kerajinan bambu yang berintikan pada KUBA dan Koperasi Perajin Bambu (KPB). Kedua kelembagaan ini terwadahi dalam Kawasan Industri Masyarakat Perhutanan.

3. Mekanisme Pendanaan
Untuk tercapainya sasaran kegiatan pengem¬bangan SPAKU Kerajinan Bambu maka setiap tahun pada penyelenggaraan Rakorbang Tk. II, perlu dibahas rancangan kebutuhan biaya pelaksanaan pem¬bangunan SPAKU setiap tahunnya. Hal ini diperlukan untuk pengalokasian dana dari berbagai sumberdana yang diperlukan untuk penyiapan prasarana penunjang.
4. Manfaat yang Diharapkan
Pembangunan "SPAKU" Kerajinan Bambu ini jika berhasil akan memberikan dampak langsung berupa peningkatan pendapatan dan kualitas hidup masyarakat yang secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan komoditas bambu dan olahannya sebagai pelaku aktifitas ekonomi produktif



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Penerbitan KP Batubara di Kaltim Buat Pengelolaan Tak Terkontrol.
Hendarto, K.A. 2005. Proyek Kehutanan Sosial dan Penganggaran Berwawasan Gender:Suatu Ulasan Teoritis.
Harijono, T.2003. Tambang Batu Bara, Tak Henti Dililit Masalah.